Ketika Asa Nyaris Sirna, JNE Datang Membawa Cerita

#JNEInspirasiTanpaBatas

#JNE #ConnectingHappiness #JNE34SatSet #JNE34Tahun #JNEContentCompetition2025 #JNEInspirasiTanpaBatas

Saya punya teori: kreativitas itu ibarat mesin motor tua. Kadang dia meraung gagah di tanjakan, kadang dia batuk-batuk manja di turunan, dan sering kali, dia mogok tanpa pemberitahuan di tengah persimpangan paling ramai. Selama tiga minggu terakhir, mesin saya bukan lagi mogok, tapi sudah masuk tahap dekomposisi. Karat-karat sinisme mulai menggerogoti busi, dan tangki bensin inspirasi bukan lagi kosong, tapi sudah berdebu dan menjadi rumah bagi laba-laba keputusasaan.

 

Setiap pagi, saya duduk di depan laptop dengan ritual seorang martir yang pasrah. Layar putih itu menatap balik, bukan sebagai kanvas kosong penuh kemungkinan, tapi sebagai cermin raksasa yang memantulkan satu kata: Gagal. Draf-draf tulisan terasa seperti makanan sisa kemarin; basi dan tidak berselera. Voltase inspirasi di otak saya mungkin setara dengan baterai jam dinding yang sudah mati tiga bulan lalu. Inilah yang oleh para profesional disebut burnout. Saya menyebutnya: kehabisan bensin oktan nol di jalan tol bernama kehidupan.

UMKM (Usaha Menstarter Kreativitas Macet)

Nama saya mungkin tidak akan Anda temukan di sampul buku Gramedia. Tapi jika ada arsip digital untuk “peserta paling persisten kalah kompetisi lomba menulis”, mungkin foto KTP saya ada di sana, sedang tersenyum pasrah. Profesi saya? Saya berburu brief lomba dari satu portal ke portal lain, menulis artikel untuk klien yang meminta “gaya Gen-Z tapi SEO-friendly”. Singkatnya, saya adalah UMKM (Usaha Menstarter Kreativitas Macet).

 

Dunia menuntut semua orang Melesat SAT SET. Saya pun begitu. Saya harus SAT SET membalas pesan klien, SAT SET mengejar deadline 10 artikel dalam semalam, SAT SET berlari ke event di ujung kota demi goodie bag berisi notes dan sebungkus kopi. Tapi ironisnya, kecepatan itu justru membuat jiwa saya terasa semakin lambat. Suara tulisan saya yang asli, yang dulu lantang, kini serak dan nyaris bisu. Tertimbun oleh ribuan kata kunci pesanan dan gaya bahasa yang bukan milik saya.

 

Setiap kali membuka pengumuman pemenang lomba, hati saya sudah terlatih untuk patah. “Selamat kepada para pemenang,” begitu bunyinya. Nama saya? Tentu saja tidak ada. Saya sudah sampai pada titik di mana saya lebih sering mengucapkan “terima kasih atas kesempatannya” daripada “alhamdulillah, menang”.

 

Di tengah kegalauan eksistensial itulah, saya melihat pengumuman Lomba Menulis #JNEContentCompetition2025. Hati saya yang sudah kapalan ini berdesir. Temanya “Melesat SAT SET: Inspirasi Tanpa Batas”. Meskipun gagal adalah nama tengah saya, anehnya saya malah terinspirasi untuk ikutan lomba ini. Tidak ada perasaan negatif. Tidak ada rasa terbebani oleh tema.

 

Maka, saya memutuskan untuk mencoba sekali lagi. Masalahnya, inspirasi saya sudah lama pamit entah ke mana. Otak saya terlalu penuh dengan brief “5 Manfaat Timun untuk Wajah” untuk bisa melahirkan tulisan yang punya nyawa. Saya butuh pemicu. Dan seperti kebanyakan perempuan di generasi saya, pemicu itu seringkali datang dalam bentuk kotak berwarna cokelat berlabel JNE.

Tiga Titik dalam Ekosistem Perjuangan yang Sama

Saya sedang menunggu paket. Bukan buku filsafat atau alat seni yang puitis. Bukan. Saya menunggu paket berisi beberapa botol serum dan toner yang saya beli saat flash sale 06.06. Ya, produk perawatan wajah. Karena jika saya belum bisa merawat masa depan saya, setidaknya saya bisa merawat wajah saya, bukan? Paket itu diantar oleh JNE. Di aplikasi, statusnya sudah “sedang proses pengantaran ke alamat tujuan”. Saya menunggunya seperti menunggu kepastian dari gebetan. Penuh harap, dan tidak siap dikecewakan.

 

Satu jam, dua jam. Paket tak kunjung tiba. Rasa cemas saya bukan lagi tentang inspirasi, tapi murni tentang, “Aduh, ini paketku nyasar nggak, ya”, mengingat area rumah saya sudah tidak seperti dulu. Sudah banyak rumah pribadi yang disulap menjadi kontrakan di sana-sini, menciptakan ‘gang’ yang membingungkan. Di tengah lamunan itulah, suara motor berhenti di depan rumah. Saya bergegas keluar.

Seorang kurir JNE Express, usianya mungkin tak jauh dari saya, berdiri sambil menyeka keringat. Di tangannya ada paket pesanan saya. Yang membuat saya tertegun bukanlah kotaknya, melainkan tatapan matanya. Lelah sekali. Sama seperti tatapan yang sering saya lihat di cermin.

 

“Paket untuk Mba…,Tamara” sebutnya, memastikan nama saya. “Iya, Mas. Makasih banyak, ya. Panas banget hari ini,” kata saya, basa-basi yang entah kenapa terasa tulus.

Dia tersenyum kecil. “Iya, Mba. Biasa, kejar setoran. Yang penting paketnya sampai dengan selamat.” Lalu ia mengacungkan jempolnya tanda ‘aman’,  sebelum pamit dan kembali melesat di jalanan.

 

Saya membawa paket itu ke dalam kamar. Saat membukanya, selain produk pesanan saya, ada secarik nota kecil dari penjualnya, sebuah toko online kecil yang dikelola seorang ibu rumah tangga. Tulisannya keriting dan lucu: “Semangat terus ya, Kak! Semoga kulitnya makin sehat & rezekinya makin lancar. Salam dari pejuang rupiah <3”

 

Dan entah kenapa, pertahanan saya runtuh. Saya tidak menangis. Saya hanya merasa… terhubung. Kalimat dari kurir yang lelah tapi tetap berusaha ramah. Pesan semangat dari sesama “pejuang rupiah” yang belum pernah saya temui. Paket yang diantar oleh satu orang, dikirim oleh orang lain, diterima oleh saya—tiga titik dalam ekosistem perjuangan yang sama.

 

Bukankah ini esensi sebenarnya dari #ConnectingHappines? Bukan kebahagiaan megah seperti memenangkan lotre, tapi kebahagiaan-kebahagiaan kecil yang membuat kita merasa tidak sendirian. Kebahagiaan saat paket diskonan tiba. Kebahagiaan saat mendapat pesan semangat. Kebahagiaan saat pekerjaan kita, sekecil apapun, bisa membuat orang lain tersenyum.

 

Inspirasi saya tidak datang dari botol serum itu. Inspirasi saya datang dari rantai kemanusiaan yang mengantarkannya. JNE, di usianya yang ke 34 tahun, bukan hanya mengantar barang. Mereka mengantar lelahnya si kurir, harapan si penjual, dan kebahagiaan kecil si pembeli. Mereka menjadi benang yang menghubungkan titik-titik perjuangan kami.

Mendadak, otak saya yang tadinya buntu, kini terasa lancar. Saya tahu apa yang harus saya tulis. Saya akan menulis tentang ini. Tentang kisah nyata seorang event hunter menulis yang menemukan inspirasi di depan pintu rumahnya, saat menerima paket skincare, bukan di puncak gunung atau di kedai kopi estetik.

 

Tulisan ini mungkin bukan masterpiece saya. Mungkin hanya akan berakhir di folder laptop saya bersama puluhan tulisan lainnya, atau di meja dewan juri. Tapi untuk pertama kalinya setelah sekian lama, saya menulis dengan suara saya sendiri. Dan ternyata, rasanya lebih memuaskan daripada sekadar “SAT SET” mengejar deadline. Rasanya seperti… akhirnya sampai di rumah. Dan perasaan itu, bagi saya, sudah terasa seperti kemenangan.

 

#JNEInspirasiTanpaBatas Bukan Sekadar Tagar

Maka, inspirasi tanpa batas itu ternyata bukanlah sesuatu yang harus dicari di tempat-tempat yang jauh. Ia tidak bersembunyi di balik buku-buku tebal atau seminar-seminar mahal. Inspirasi tanpa batas itu ada di sini, di sekitar kita. Terbungkus dalam interaksi-interaksi kecil yang sering kita anggap remeh. Dalam senyum lelah seorang kurir, dalam tulisan tangan di secarik nota, dalam kegembiraan sederhana saat membuka kotak yang kita tunggu-tunggu.

 

Tulisan ini saya ikutkan dalam #JNEContentCompetition2025 bukan lagi dengan ambisi untuk menang, melainkan dengan sebuah kesadaran baru. Kesadaran untuk merayakan perjuangan-perjuangan kecil yang membentuk kebahagiaan-kebahagiaan besar.

Dan mungkin, tulisan ini adalah paket yang sedang saya coba kirimkan. Bukan lewat kurir, tapi lewat kata-kata.

Semoga sampai ke hati Anda dengan selamat.

#JNE #ConnectingHappiness #JNE34SatSet #JNE34Tahun #JNEContentCompetition2025 #JNEInspirasiTanpaBatas

Scroll to Top