Ratu Sampah Sekolah: Sulap Limbah jadi Berkah, Keberlanjutan jadi Keniscayaan

#BersamaBerkaryaBerkelanjutan #KitaSATUIndonesia

Bandung, 2008 – Matahari menyorot garang di langit Bandung siang itu. Sesosok kakek pengangkut sampah yang sedang rehat makan siang di pinggir trotoar menarik perhatian Amilia Agustin dari ruang lamunannya. Sang kakek terlihat sibuk menghalau lalat yang mengerubungi santapannya. Kerumunan lalat itu datang dari tumpukan sampah yang berada di sepanjang trotoar SMPN 11, Tegallega, Bandung.

 

Dengungan sayap serangga kecil berpadu dengan desingan knalpot dari jalanan memadati indra pendengaran sang kakek. Angin jalanan yang menembus tumpukan sampah membawa bau tak sedap yang tidak layak hirup.

 

Pemandangan itu membuat nurani Amilia Agustin bergejolak, hatinya tergerak mendambakan perubahan. Kemudian, bagai bohlam ide yang terpantik, Amilia Agustin – yang masih berstatus sebagai siswi SMPN 11 Bandung — mendapatkan ide untuk menginisiasi gerakan peduli lingkungan yang berfokus terhadap pengelolaan sampah. Ini adalah momen yang mendorong Amilia untuk mewujudkan aspirasinya menjadi aksi nyata.

 

Gerakan ini kemudian melahirkan rentetan program pelestarian lingkungan lainnya yang membuat Amilia menyandang julukan sebagai “Ratu Sampah Sekolah”. Kiprah Amilia dalam pengelolaan sampah ini  selaras dengan prinsip Astra — perusahaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai keberlanjutan dan tanggung jawab sosial. Keselarasan nilai ini menjadi fondasi kuat bagi Astra untuk memberikan penghargaan Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards kepada Amilia pada tahun 2010 silam.

 

Semua itu diraih Amilia, saat usianya baru genap 14 tahun.

ratu sampah sekolah

Dok. Machradi Wahyudi Ritonga

Bandung Lautan Sampah

Kiprah Amilia dalam pengelolaan sampah dimulai dari kota kelahirannya, yakni Kota Bandung. Sampah di Bandung Raya memang merupakan masalah yang masih sukar ditangani, dari dulu hingga kini.

 

Gunungan sampah di tepian jalanan Bandung sangat mudah ditemui, apalagi di wilayah pemukiman dekat Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Pemandangan lautan sampah di Sungai Citarum bahkan sudah lama ‘terendus’ oleh media internasional dan pernah menjadi sorotan. Fenomena ini sudah menjadi momok yang membuat gusar warga Bandung bertahun-tahun lamanya.

 

Ironisnya, pada tahun ’80-an, Sungai Citarum dikenal dengan julukan ‘Firdaus Tropis’. Namun, pada tahun 2013, sungai ini justru masuk dalam daftar sungai paling kotor di dunia. Permukaan airnya hampir tak terlihat akibat tertutup oleh gunungan sampah.

sungai citarum
kondisi sungai citarum
kondisi sungai citarum

Dok. Jakarta Post & Mongabay

Ada banyak faktor yang menyebabkan episode Bandung Lautan Sampah terus berulang. Mulai dari kenaikan jumlah penduduk, limbah tekstil yang bermuara ke sungai, gaya hidup konsumtif, kebiasaan membuang sampah sembarangan, hingga kurangnya pemeliharaan fasilitas TPA di Bandung. Salah satu contoh kelalaian pemeliharaan TPA ini adalah kasus kebakaran TPA Sarimukti yang berujung pada penumpukan sampah masif di lingkungan sekitar TPA pada 2023 silam.

 

Merujuk dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung, dalam kurun waktu tiga belas tahun (2009 – 2022), total produksi sampah Kota Bandung mencapai 22 juta meter kubik. Kalau dikonversi, jumlah tersebut kurang lebih 424 kali luas wilayah Kota Bandung yang hanya 167,3 kilometer persegi. Jenis sampah yang paling mendominasi adalah sampah rumah tangga, terutama sampah makanan.

Program ‘Go to Zero Waste School’:Memacu Seisi Sekolah untuk Maju

amilia agustin ratu sampah sekolah

Dok. Amilia Agustin

Wahyu Surakusumah, sarjana dari Jurusan Biologi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dalam karya ilmiah berjudul Permasalahan Sampah Kota Bandung dan Alternatif Solusinya, menuliskan bahwa pengelolaan sampah di Bandung masih kurang efisien karena masyarakat masih belum konsisten memilah sampah organik dan non-organik.

 

Pemilahan sampah tidak dilaksanakan pada tingkat rumah tangga, melainkan pada tempat pembuangan sementara. Pemilahannya pun bukan dilakukan oleh petugas kebersihan, akan tetapi dilakukan oleh pemulung sehingga tidak optimal.

 

Masalah pemilahan sampah ini menjadi tema utama dalam program ‘Go to Zero Waste School’ besutan Amilia dan rekan-rekannya di SMPN 11 Bandung. Program ‘Go to Zero Waste School’, dibagi dalam empat bidang pengelolaan sampah, yakni pengelolaan sampah organik, anorganik, sampah kertas, dan sampah tetrapack.

 

Sampah organik nantinya diolah menjadi pupuk kompos untuk menyuburkan kebun di sekolah atau kebun warga sekitar sekolah. Sampah anorganik seperti plastik dan kardus diolah menjadi tas, keranjang wadah, dan barang bernilai ekonomi lainnya. Sementara itu, sampah tetrapack didaur ulang menjadi papan, furniture sederhana, hingga menjadi material atap gelombang, dan sampah kertas diolah untuk pembuatan poster dan scrap book kreatif.

go to zero waste school

Dok. Perhumas

Tak hanya mengedukasi pentingnya memilah sampah di lingkungan sekolah, komunitas besutan Amilia ini juga merangkul para ibu anggota PKK di lingkungan sekitar sekolah. Melalui pelatihan intensif, mereka diajarkan cara mendaur ulang sampah menjadi produk bernilai guna. Bersama-sama, mereka menciptakan berbagai kerajinan seperti tas, pot bunga, keranjang, dan lain-lain dari bahan daur ulang, sambil mempelajari desain produk yang menarik perhatian pasar.

 

Produk-produk kreatif ini tidak hanya dipamerkan di berbagai acara, tetapi juga dipasarkan melalui platform jual beli online, sehingga menjangkau lebih banyak pembeli dan memberikan dampak ekonomi bagi warga sekitar sekolah.

Tantangan yang Dihadapi

Proses pengelolaan sampah tidak sederhana. Konsepnya cukup rumit untuk dipahami oleh remaja yang masih duduk di bangku SMP maupun warga yang awam terhadap pengetahuan pengelolaan limbah. Awalnya, Amilia dan kawan-kawan cukup kesulitan untuk mensosialisasikan konsepnya dengan bahasa yang mudah dipahami.

 

“Rantainya (pengelolaan sampah) panjang, terutama untuk orang-orang yang menjadi pengangkut sampah, yang mengais rejeki dari sampah. Jadi cara kita membuang sampah juga harus memanusiakan manusia, skemanya kenapa kita gak buat sistem yang berguna buat mereka, misalnya untuk pemulung tinggal ambil di penampungan lewat pemilahan sampah.”

 

Ucapan Amilia tersebut mencerminkan bahwa ia memiliki kualitas berimbang antara ketegasan dan keluwesan. Ia memiliki visi jauh ke depan sekaligus sikap membumi saat berinteraksi horizontal dengan sesama manusia.

 

Pada praktiknya, siswa-siswi di SMPN 11 Bandung masih sulit untuk diajak konsisten dalam memilah sampah di awal. “Awalnya agak sulit, intens banget. Kita sudah sediakan kardus dan tempat sampah tapi mereka campur-campur lagi, pulang sekolah kita harus pilah sampah, sering pulang sore bahkan malam. Setelah sekitar satu tahun akhirnya mereka baru sadar. Setelah setahun baru kita ajarkan tiap kelas bikin (tempat) pemilahan sampah sendiri, dan bisa bikin kompos sendiri dari sampah organik.”

 

Selain itu, Amilia juga tidak luput dari tantangan tak berwujud bernama ‘omongan orang’. “Apalagi dalam pelaksanaannya ini, Ami sempat diejek teman-teman (yang tidak ikut dalam program) sampai membuat Ami nyaris menyerah,” kenang Ami. Namun, orang besar memang harus siap dikerdilkan, selayaknya orang hebat yang harus siap dikucilkan.

 

Dari sini, kita bisa belajar bahwa, motivasi dan aksi saja tidak cukup untuk menuju kesuksesan. Diperlukan komitmen, konsistensi, dan determinasi tinggi untuk mengajak masa membangun asa.

 

Setelah Amilia dan teman-temanya lulus dari SMPN 11 Bandung, program ‘Go to Zero Waste School’ ini terus berlanjut. Program ini akhirnya menjadi subdivisi ekskul Karya Ilmiah Remaja (KIR) di sana. Guru Biologi Amilia yang akrab dipanggil Ibu Nia menjadi sosok berpengaruh yang melanjutkan ‘tongkat estafet’ Amilia dan kawan-kawannya tersebut, hingga menjadikan SMPN 11 Bandung terkenal dengan sebutan ‘Sekolah Bebas Sampah’ sampai hari ini.

amilia agustin bandung bercerita

Bandung Bercerita, Amilia Mendengarkan

“Ami sudah berapa tahun tinggal di bumi? Sudah berkontribusi apa saja (untuk sesama)?” adalah sebuah pertanyaan reflektif yang dilontarkan Ibu Amilia ketika dirinya duduk di bangku SD kelas 4. Pertanyaan itu memancing jawaban filosofis yang tidak sederhana. Jawabannya pun perlu terus diperbarui seumur hidupnya.

 

Pertanyaan itu jadi acuan bagi Amilia dalam membentuk prinsip hidupnya. Prinsip yang menjadi landasan baginya untuk selalu berkontribusi dan berguna, baik kepada sesama manusia, kepada alam, maupun makhluk hidup lainnya. Sosok lain yang turut membangun empati Amilia sejak kecil adalah adik kandungnya. Kebiasaan adik kandungnya untuk berbagi bekal dengan teman-temannya yang berstatus yatim piatu adalah salah satu suri tauladan bagi Amilia untuk konsisten berbagi kepada sesama.

 

Prinsip hidup inilah yang menjadi acuan bagi Amilia dan rekan-rekannya untuk membentuk program Bandung Bercerita setelah lulus dari SMP. Bandung Bercerita adalah program yang fokus memberi tambahan pelajaran pada anak-anak miskin dan marginal yang hidup di lingkungan kumuh Kota Bandung.  Program Bandung Bercerita ini adalah program yang sifatnya rutin. Pelajaran yang diajarkan mencakup pelajaran seni, bahasa, dan lain-lain yang disisipkan pendidikan peduli lingkungan.

 

Aktivitas di Komunitas Bandung Bercerita berhasil membuahkan modul “101 Creative Teaching”. Modul tersebut berisi tentang tips mengajak anak-anak agar semangat belajar. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bahkan menduplikasi modul ini untuk digunakan saat mendampingi anak-anak penyintas korban bencana.

Wajah Konsistensi: Gerakan Peduli Lingkungan Berlanjut Hingga ke Pulau Dewata

udayana green community

Dok. Amilia Agustin

Nurani peduli lingkungan memang sudah mendarah daging dalam diri Amilia. Setelah hampir lima tahun berkiprah melestarikan lingkungan dan memberdayakan kampung halamannya, cahaya kepeduliannya tetap terang setelah ia lulus SMA, dan hijrah ke Pulau Dewata untuk menyabet gelar sarjana.

 

Amilia meneruskan pendidikannya di Universitas Udayana, Bali pada tahun 2014. Statusnya sebagai perantau kala itu tidak menyurutkan semangatnya untuk menciptakan perubahan di mana pun ia berada. Ini terbukti dari terbentuknya komunitas ‘Udayana Green Community’.

 

Komunitas ini mirip dengan Bandung Bercerita yang fokusnya untuk memberikan kelas pengajaran gratis bagi anak-anak sekitar. Udayana Green Community aktif mengajar anak-anak di Desa Banjar dan Kota Denpasar. Selain itu, mereka juga melatih masyarakat desa dalam mengelola sampah terpadu sesuai dengan nilai Tri Hita Karana: Menghormati Tuhan, Manusia, dan Alam.

 

Udayana Green Community bersama Dinas Lingkungan Hidup Bali, juga fokus menjaga laut dan pantai Pulau Dewata dari sampah, serta menggarap kebun mandiri yang hasilnya bisa dijual untuk menambah pemasukan bagi para mahasiswa/i yang membutuhkan.  

Merangkum Faedah dari Kiprah Sang Ratu Sampah

Mulai dari program ‘Go to Zero Waste School’ hingga ‘Udayana Green Community’, dari Kota Kembang ke Pulau Dewata, berikut ini adalah rangkuman dampak positif yang dituai dari benih kebaikan sang ratu sampah.

Membangun Keberlanjutan Rantai Inspirasi Peduli Lingkungan Antar Generasi

amilia agustin SATU Astra

Penghargaan SATU Awards dari ASTRA yang Amilia terima dari Astra pada tahun 2010 silam, telah memberikan eksposur luar biasa terhadap programnya. Banyak media besar Indonesia yang berbondong-bondong untuk meliput program Amilia sedari SMP hingga lulus perkuliahan. Rentetan undangan wawancara membanjiri kotak masuk e-mail Amalia.

 

Kemampuannya dalam memobilisasi masyarakat, mulai dari siswa, guru, hingga ibu-ibu rumah tangga dan penggiat lingkungan lainnya dari berbagai kalangan dan usia, sangat menginspirasi masyarakat Indonesia untuk melakukan hal yang sama.

 

Oleh karena itu, eksposur yang diterima Amalia ini dapat melahirkan banyak individu dan komunitas yang sadar akan tanggung jawab lingkungan, dan model programnya bisa ditiru oleh berbagai komunitas lainnya di seluruh Indonesia. Sehingga, rantai inspirasi kepedulian lingkungan tidak akan terputus di Amalia Agustina saja, melainkan akan terus beregenerasi. Ini sudah terbukti dari keberlanjutan program ‘Go to Zero Waste School’ yang tetap eksis bahkan setelah pelopornya lulus sekolah.

Mendorong Keberlanjutan Sosial dan Ekonomi

Program dan komunitas yang diinisiasi Amilia itu berkelanjutan dalam dua makna. Pertama, program-program tersebut berfokus pada keberlanjutan lingkungan dengan mengurangi limbah yang berakhir di TPA atau sungai. Kedua, program ini juga berkelanjutan secara sosial dan ekonomi, dengan mengajarkan keterampilan kepada masyarakat agar mampu menciptakan produk bernilai jual dari bahan-bahan yang sebelumnya dianggap tidak berguna.

 

Tidak hanya keterampilan pembuatan kreasi dari sampah, masyarakat juga diajak untuk mempelajari pasar. Bagaimana bentuk dan fitur produk yang digandrungi pasar? Apa platform belanja online yang sesuai dengan target pasar mereka? Mereka tidak hanya memiliki keterampilan produksi, tapi juga kemampuan untuk memasarkan. Gabungan skill ini akan membuat masyarakat lebih mandiri secara finansial, bahkan bisa menciptakan lapangan kerja baru, yang mendorong roda ekonomi kreatif di Indonesia.

Menekan Angka Emisi Karbon

go to zero waste school

Pengolahan sampah organik menjadi kompos dan sampah anorganik menjadi benda bernilai guna, dapat mengurangi kebutuhan transportasi dan penimbunan sampah di TPA, yang pada akhirnya mengurangi jejak karbon dari proses pengangkutan sampah dan penguraiannya. Berdasarkan perhitungan standar pengelolaan limbah, setiap ton sampah organik yang diolah menjadi kompos dapat mengurangi sekitar 2,5 ton emisi CO2 per tahun.

 

Selain itu, dilaporkan bahwa program ‘Go to Zero Waste School’ menyebabkan kualitas sanitasi di lingkungan sekolah SMPN 11 Bandung semakin membaik.

Kisah hidup Amilia adalah refleksi dari komitmen jangka panjang terhadap bumi yang kita huni. Gerakannya yang awalnya dianggap remeh kini telah memberikan dampak nyata yang tidak hanya menyentuh aspek lingkungan tetapi juga aspek sosial. Membangun empati, solidaritas, dan keberlanjutan menjadi misi hidupnya yang terus ia kembangkan sampai saat ini.

 

Harapan terbesar Amilia adalah agar semakin banyak orang yang sadar akan pentingnya peran mereka dalam menjaga bumi. Dengan banyaknya tantangan yang dihadapi lingkungan saat ini, setiap langkah kecil, setiap inisiatif lokal, dapat berkontribusi pada tujuan yang lebih besar. Dan dalam perjalanan itu, Amilia berharap bahwa kita semua bisa menjadi bagian dari solusi, dan bukan bagian dari masalah, bagi bumi ini.

 

“Ini cita-cita Ami sama Bu Nia, lewat sekolah contoh kami ingin menyadarkan banyak orang bahwa anak tidak cuma dinilai dari nilai-nilai akademis yang dia peroleh di sekolah, yang lebih utama adalah kita mampu mengaplikasikan nilai-nilai itu menjadi aksi nyata yang berguna. Sebab nilai atau pengetahuan kita secara akademik itu tidak cukup. Kita harus berdaya bukan hanya untuk diri sendiri tapi juga orang lain yang membutuhkan. Ami memaknai hidup tidak hanya sekadar masuk sekolah, SD, SMP, SMA, kuliah, lalu kerja, tapi juga harus ada kontribusi nyata bagi sesama, ikut beraksi menjadi solusi bagi permasalahan dalam masyarakat.”, ucap Amilia Agustin mengakhiri cerita perubahannya dalam wawancara bersama Ashoka Indonesia.

 

 

Artikel ini adalah upaya saya untuk #BersamaBerkaryaBerkelanjutan, menyebarkan inspirasi kisah sosok pendorong keberlanjutan yang berhasil meraih asa bersama Astra #KitaSATUIndonesia.

Sumber:

https://scraplab.princeton.edu/2020/03/

http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._BIOLOGI/197212031999031-WAHYU_SURAKUSUMAH/Permasalahan_sampah_kota_bandung_dan_alternatif_solusinya.pdf

https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/11/06/kuota-pembuangan-masih-terbatas-sampah-kota-bandung-menumpuk-di-jalan?open_from=Section_Nusantara

 

Scroll to Top