#JNE34Tahun #ConnectingHappiness
'The JNE Effect': Membawa Aroma Pantan Musara dari Hulu ke Hilir
“Setiap paket yang dikirim adalah sebuah batu kecil yang dilempar ke kolam ekonomi. Kita mungkin hanya melihat cipratannya, tapi riaknya menyentuh tepian yang tak pernah kita duga.”

Saya sedang duduk di sebuah kafe kecil di Kintamani, Bali. Kabut tipis menyapu Danau Batur di kejauhan, dan di tangan saya ada secangkir kopi tubruk yang rasanya begitu surgawi. Aromanya pekat, ada sedikit sentuhan rasa jeruk, dan meninggalkan kehangatan yang menjalar perlahan di dada. Sempurna. Saking sempurnanya, saya jadi penasaran.
Rasa penasaran ini menggelitik saya. Awalnya, saya berfikir ini adalah sihir biji kopi khas Kintamani yang mengalahkan rasa kopi di kafe-kafe mewah Jakarta.
Saya menghampiri pemiliknya, seorang pemuda Bali bernama Gede. Saya memuji kopinya, lalu bertanya, “Bli, kopinya spesial sekali. Ini biji khas Kintamani, yah?”
Gede tersenyum bangga. “Kalau yang ini beda. Ini asli Gayo, Mbak. Saya ada kenalan roaster kecil di Jakarta. Dia yang pilihkan biji terbaik buat saya.”
“Jakarta? Jauh juga,” sahut saya. “Pengirimannya bagaimana supaya tetap segar?” Gede tertawa kecil, seolah jawaban saya adalah hal paling lumrah di dunia. “JNE-in aja mbak. Biasa 2-3 hari sampai. Yang urus paman saya. Selama ini aman.”
Jawaban itu seharusnya menjadi akhir dari percakapan kami. Namun, bagi saya, itu adalah awal dari sebuah perjalanan. ‘JNE-in’, frasa yang familiar dalam dunia perlogistikan, tiba-tiba terdengar berbeda di telinga saya. Di sini, di ketinggian Kintamani, frasa itu bukan lagi sekadar kata kerja serapan. Ia adalah benang tak kasat mata yang menghubungkan secangkir kopi nikmat di tangan saya dengan seorang roaster di tengah sibuknya ibu kota.
Dan saya memutuskan untuk menarik benang itu…
Malamnya, berbekal nama roastery dari Gede, saya menemukannya di Instagram. Sebuah usaha mikro, dijalankan oleh sepasang suami-istri. Feed mereka penuh gairah: foto-foto biji kopi hijau, mesin sangrai yang berputar, dan tumpukan karung goni. Di salah satu unggahan, mereka bercerita tentang pengiriman terbaru mereka: “Fresh batch Gayo Pantan Musara, siap meluncur ke para sahabat kopi di seluruh penjuru negeri!” Di antara lautan komentar, saya melihat logo kafe Gede.
Saya tertegun sejenak. Inilah mata rantai kedua. Gairah sepasang suami-istri di Jakarta ini, semangat mereka untuk menyajikan kopi terbaik, bisa terus menyala karena mereka tahu produk mereka bisa mencapai tangan orang-orang seperti Gede di Bali. Mereka bisa Gasss Terus Semangatnya karena ada sebuah sistem yang mereka percaya untuk menjadi perpanjangan tangan mereka.
Tapi benang ini belum putus. Siapa di balik biji kopi Gayo itu?
Saya mengirim pesan singkat ke roastery itu, memuji produk mereka yang saya cicipi di Bali, dan iseng bertanya tentang petani di Gayo. Di luar dugaan, mereka membalas dengan antusias. Mereka bercerita tentang sebuah koperasi petani kecil di Takengon, yang berkomitmen pada pertanian organik.
Dan di sinilah, simfoni itu mulai terdengar jelas.
Bapak/Ibu Gapoktan di Gayo mungkin tidak pernah kenal bli Gede. Gede mungkin tidak pernah membayangkan wajah para petani Gayo. Pasangan roaster di Jakarta adalah jembatan di antara mereka. Dan JNE? #JNE adalah jembatan di atas segala jembatan itu. Tulang punggung yang memungkinkan seluruh rantai nilai ini terjadi.
Saya, yang duduk di Kintamani, hanyalah titik terakhir dari rantai ini. Tindakan sederhana saya membeli secangkir kopi tiga puluh ribu rupiah, ternyata adalah bagian dari sebuah “Efek Kupu-Kupu”. Kepakan sayapnya dimulai saat Gapoktan Gayo memutuskan untuk menanam kopi organik. Kepakan itu dilanjutkan oleh sepasang suami-istri yang membangun bisnis roastery. Diperkuat oleh Gede yang menyajikan kopi terbaik di kedainya.
Saya membayangkan Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) di Dataran Tinggi Gayo. Setiap pagi mereka memetik ceri-ceri kopi merah matang dari kebunnya. Bagi mereka, setiap biji adalah harapan. Dulu, mungkin mereka menjualnya ke tengkulak dengan harga yang tak menentu. Tapi kini, melalui koperasi, mereka bisa terhubung langsung dengan roaster di Jakarta.
Dan bagaimana biji kopi dari tangan mereka bisa sampai ke mesin sangrai di Jakarta? Yup, kita sudah bisa menebaknya. Sebuah truk JNE—dalam hal ini mungkin layanan JTR (JNE Trucking) untuk kargo besar—datang ke desanya, mengangkut karung-karung harapan itu, melintasi pulau Sumatera, menyeberangi selat, dan membawanya ke sebuah garasi yang diubah menjadi roastery di Jakarta.
Dan seluruh rangkaian kepakan itu bisa menjadi sebuah badai ekonomi kecil yang positif karena ada aliran darah yang memompa nutrisi ke seluruh tubuh: sistem logistik yang andal.
Kita sering kali melihat sebuah paket hanya sebagai transaksi antara pengirim dan penerima. Kita lupa, di baliknya ada jaringan kehidupan yang saling terhubung. Paket berisi bahan kue yang kita kirim ke ibu kita bisa jadi menggunakan tepung dari petani di Jawa Tengah. Baju yang kita beli secara daring mungkin ditenun oleh perajin di Pekalongan.
Kita semua adalah bagian dari rantai tak terlihat ini. Setiap kali kita “men-JNE-kan” sesuatu, kita tidak hanya mengirim barang. Kita sedang mengirimkan energi. Energi itu menjelma menjadi notifikasi “Pesanan Baru” di ponsel seorang ibu rumah tangga yang merintis bisnis kue kering dari rumah. Energi itu menjadi “Ulasan Bintang Lima” yang membuat seorang desainer grafis muda di Bandung tersenyum bangga. Energi itu menjadi pendapatan yang membuat sebuah kedai kopi di pelosok bisa terus membayar sewa tempatnya.
Kita mungkin tidak bisa melihat wajah mereka, tapi percayalah, semangat dan dukungan kita sampai, terbungkus rapi dalam sekotak harap berlabel “JNE”.
Saya menghabiskan kopi saya. Rasanya kini bukan lagi sekadar nikmat. Rasanya penuh cerita, penuh makna. Rasanya seperti kerja keras para Petani di Takengon, gairah pasangan roaster Ibu Kota, dan optimisme pemilik kedai keluarga di Kintamani.
#JNEContentCompetition2025 #JNEInspirasiTanpaBatas #JNE34SatSet